Ringkasan Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984

beritakecelakaan.com – JAKARTA UTARA – Peristiwa berdarah terjadi di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 12 September 1984. Militer bersenjata menindak warga sipil dalam insiden yang kemudian dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru).

Menurut laporan beritakecelakaan.com (29/6/2025), tragedi Tanjung Priok menewaskan 24 orang dan melukai 55 lainnya. Sementara investigasi Solidaritas Nasional mengenai Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) mencatat jumlah korban tewas mencapai 400 orang, serta 160 orang dicurigai terkait peristiwa itu ditangkap tanpa prosedur hukum jelas.

Latar Belakang Tragedi

Tanjung Priok, yang terletak di Jakarta Utara, menjadi salah satu sektor perekonomian penting di Indonesia. Kepadatan penduduk tinggi karena sebagian besar bekerja di pelabuhan Tanjung Priok, baik sebagai pedagang kecil, penarik becak, maupun pekerja kasar lainnya.

Memasuki awal 1980-an, perekonomian Indonesia terdampak krisis akibat anjloknya harga minyak dunia. Pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1982 hingga 60 persen, menyebabkan inflasi meningkat dari 9,06 persen (1982) menjadi 15,35 persen (1984). Pemutusan hubungan kerja juga melonjak tiga kali lipat dari 15.000 orang pada 1983 menjadi 45.000 orang pada 1984.

Beban hidup yang berat mendorong masyarakat mengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru, baik melalui ceramah di masjid maupun melalui pamflet-pamflet yang menempel di mushala setempat.

Awal Mula Konflik

Pamflet yang ditempel di Mushala Assa’addah, Koja, memicu reaksi aparat keamanan. Pada 7 September 1984, anggota Babinsa Koja, Sersan Satu (Sertu) Hermanu, meminta pengurus mushala, Ahmad Sahi, untuk menurunkan pamflet. Hermanu melarang masyarakat menempel poster yang memengaruhi opini publik.

Namun, saat kembali ke mushala pada 8 September, Hermanu masih menemukan pamflet terpampang di dinding. Ia marah, menunjuk warga dengan pistol, dan memasuki mushala tanpa melepas sepatu. Warga kemudian marah dan meminta Hermanu meminta maaf kepada pengurus mushala serta umat Islam.

Pada 10 September, pengurus mushala, Syarifufin Rambe dan Ahmad Sahi, mencoba berdialog dengan Hermanu dan Sertu Rahmad. Namun Hermanu menolak meminta maaf dengan alasan menjaga keamanan wilayah. Ketegangan meningkat, dan warga sempat membakar sepeda motor milik Hermanu. Aparat Kodim 0502 Jakarta Utara kemudian menangkap empat warga yang hadir dalam pertemuan tersebut: Syarifudin Rambe, Syafwan bin Sulaeman, Mohammad Noor, dan Ahmad Sahi.

Upaya Negosiasi Gagal

Keesokan harinya, warga yang dipimpin Amir Biki, tokoh Forum Studi dan Komunikasi 66, berupaya membebaskan empat warga tersebut dengan mendatangi Kodim 0502. Upaya itu gagal. Pada 12 September 1984, Amir Biki diundang Jenderal Try Sutrisno untuk mediasi, namun permintaan pembebasan tetap ditolak.

Sebagai respons, warga menggelar ceramah pukul 19.30 WIB dengan volume speaker diarahkan ke Markas Polres Jakarta Utara. Pada pukul 22.00 WIB, Amir Biki mengancam akan melakukan kerusakan jika keempat warga tidak diserahkan.

Keributan Meletus

Keesokan malam, sekitar 1.500 warga bergerak menuju Kodim 0502. Di depan Markas Polres Jakarta Utara, mereka dihadang regu Artileri Pertahanan Udara Sedang yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung di bawah komando Kapten Sriyanto.

Aparat berusaha membubarkan massa secara persuasif. Namun situasi memanas ketika warga bergerak paksa. Pihak aparat kewalahan dan mulai menembak ke tanah, menyebabkan banyak warga terluka. Bantuan aparat menggunakan lori-lori mencoba menghalau massa. Warga yang lari berlindung di masjid, sementara beberapa mengalami penyiksaan.

Dampak dan Penegakan Hukum

Peristiwa ini menimbulkan penyesalan atas tindakan represif militer. Kasus berlanjut hingga persidangan subversi, di mana beberapa terdakwa dijatuhi hukuman: Salim Qadar dihukum 20 tahun penjara, Tonny Ardie 17 tahun 6 bulan.

Komisi Penyelidik Pemeriksa dan Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T) dibentuk untuk menyelidiki kasus tersebut. Penyelidikan menemukan aparat melakukan penangkapan dan penahanan di luar hukum, serta upaya penghilangan paksa selama tiga bulan pasca-tragedi.

Hasil KP3T menyebutkan pihak yang terlibat meliputi Babinsa, Kesatuan Arhanud, Koramil Koja, Polres Jakarta Utara, dan beberapa perwira tinggi. Meskipun kasus ini termasuk pelanggaran HAM, penyelesaian akhirnya melalui mediasi dan proses islah yang panjang.

Warisan Tragedi

Tragedi Tanjung Priok 1984 tetap menjadi catatan kelam dalam sejarah Indonesia. Peristiwa ini mengingatkan masyarakat akan pentingnya perlindungan HAM, transparansi aparat, dan hak warga untuk menyampaikan kritik tanpa ancaman kekerasan.

nita mantan steamer